JURNALINDONESIA.CO – Gaji atau take home pay Anggota DPR RI yang ditetapkan Rp65,59 juta per bulan masih terbilang terlalu besar.
Sehingga, perlu dievaluasi lagi oleh DPR RI.
Sebelumnya, DPR telah memutuskan untuk menghapus tunjangan perumahan Rp50 juta per bulan.
****
Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) meminta DPR RI mengevaluasi seluruh tunjangan yang didapat anggota dewan, menyusul masih tingginya gaji (take home pay/THP) yang diterima anggota dewan.
Jumlah THP yang diterima mencapai Rp 65 juta per bulan setelah DPR RI menghapus berbagai tunjangan, meliputi tunjangan perumahan Rp 50 juta, biaya langganan, daya listrik, jasa telepon, biaya komunikasi intensif, dan biaya tunjangan transportasi.
“Jenis tunjangan harus benar-benar dievaluasi manfaatnya,” kata Peneliti Formappi, Lucius Karus dalam keterangannya, Sabtu (6/9/2025).
“Kita mengharapkan agar setelah respons awal DPR dengan penghapusan tunjangan perumahan dan pengurangan nominal tunjangan untuk jenis tunjangan lain, DPR akan kembali melakukan pembenahan menyeluruh untuk jenis dan nominal tunjangan yang mereka terima,” imbuh Lucius.
Lucius bertanya-tanya mengapa DPR hanya berani menghapus tunjangan perumahan dan tunjangan lainnya secara tidak menyeluruh.
Tunjangan komunikasi intensif misalnya, masih diterima sebesar Rp 20 juta per bulan.
Padahal, eksekusi tunjangan ini tidak jelas, menyusul banyak pihak yang merasa DPR selama ini tidak cukup aspiratif.
Belum lagi tunjangan jabatan dan tunjangan kehormatan bernilai fantastis yang masih didapat seorang anggota DPR RI.
“Ini kan dua tunjangan yang maknanya sama. Kenapa mesti dibikin menjadi dua jenis tunjangan?
Apalagi nominal untuk masing-masingnya cukup besar, Rp 9,7 juta itu tunjangan jabatan, sementara Rp 7,1 juta untuk tunjangan kehormatan anggota DPR RI,” beber Lucius.
Tak hanya itu, ada pula tunjangan-tunjangan lain yang maknanya sama.
Lucius mengungkapkan, tunjangan itu adalah tunjangan peningkatan fungsi dan honorarium kegiatan.
“Pengikatan fungsi dewan juga tampak sama tujuannya, tetapi dibikin seolah-olah menjadi hal yang berbeda.
Kan bisa terlihat kalau jenis atau item tunjangan ini menjadi semacam strategi untuk bisa menambah pundi-pundi saja,” kritik Lucius.
Selain itu, DPR masih memiliki tunjangan reses, tunjangan aspirasi, rumah aspirasi, dan lain-lain.
Tunjangan reses, lanjut Lucius, memang tidak diberi setiap bulan.
Tetapi jumlahnya cukup besar tiap anggota dewan melalui masa reses dan harus kunjungan ke daerah pemilihan (dapil) masing-masing.
Ia menekankan, kunjungan seorang anggota ke dapil mencapai 12 kali kunjungan yang dibagi menjadi 3 klaster, yakni kunjungan pada masa reses sebanyak 5 kali, kunjungan pada masa sidang dan atau masa reses sebanyak 1 kali setahun selama 5 hari, serta kunjungan di luar masa reses dan di luar masa sidang sebanyak 6 kali setahun.
“Kalau ditotalin jumlahnya menjadi 12 kali. Itu artinya tunjangan reses dan kunker ke dapil sama saja dengan tunjangan-tunjangan bulanan lain itu,” jelas Lucius.
Oleh karenanya, Lucius ingin DPR mengevaluasi menyeluruh tunjangan yang diterima.
Lucius tidak ingin DPR hanya mengakali bahwa tunjangan-tunjangan tersebut tidak masuk dalam bagian THP.
“Jadi dari kegiatan kunker dengan ragam jenisnya itu, pundi-pundi pendapatan anggota bisa jadi masih cukup banyak.
Mestinya pimpinan DPR sekaligus menjelaskan soal varian kunker-kunker ini beserta klasifikasi tunjangannya masing-masing,” tandas Lucius.
Sebelumnya diberitakan, DPR RI mengumumkan take home pay anggotanya sebesar Rp 65 juta per bulan setelah tunjangan perumahan hingga tunjangan lainnya dipangkas merespons 17+8 Tuntutan Rakyat.
Penghapusan tunjangan merupakan salah satu dari 6 poin keputusan menindaklanjuti kritik masyarakat hingga demo berhari-hari sejak Senin (25/8/2025), yang dibacakan oleh Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad di Gedung DPR, Jakarta, pada Jumat (5/9/2025).
“Pada hari ini kami menyampaikan hasil keputusan rapat konsultasi pimpinan DPR dengan pimpinan fraksi-fraksi DPR RI yang dilaksanakan kemarin,” ujar Dasco, Jumat malam.
Sumber artikel: Kompas.com