banner 728x90

Kisah Gubernur dan Anggota Dewan Hidup Tanpa Ikatan Pernikahan, Asal Usul Sebutan Kumpul Kebo

Foto ilustrasi kumpul kebo. Foto: Freepik
banner 120x600
banner 468x60

JURNALINDONESIA.CO – Kisah kumpul kebo pejabat Belanda di wilayah kekuasaannya.

Untuk memenuhi hasrat biologisnya, para gubernur dan anggota dewan Belanda ini ‘menikahi’ perempuan lokal.

banner 325x300

Mereka menjadikan perempuan lokal sebagai pelampiasan, hingga memiliki anak.

****

Fenomena hidup bersama tanpa ikatan resmi atau lebih akrab disebut kumpul kebo, telah menjadi bagian dari sejarah sosial di Indonesia.

Praktik ini bahkan sudah berlangsung sejak zaman kolonial terutama di kalangan pejabat Belanda yang tinggal di Hindia Belanda.

Pada masa itu, banyak pejabat tinggi dan warga Belanda yang menjalani hidup bersama perempuan lokal tanpa ikatan pernikahan resmi.

Hal ini terjadi karena membawa istri dari Eropa ke Hindia Belanda memerlukan biaya yang besar dan mengandung risiko yang tinggi.

Sebagai gantinya mereka membangun hubungan rumah tangga dengan perempuan lokal, yang sebagian besar berasal dari kalangan budak.

Gubernur Jenderal VOC Gustaaf Willem Baron van Imhoff (1743-1750), salah satunya.

Dalam buku Tempat-Tempat Bersejarah di Jakarta (2016) diceritakan, van Imhoff yang tercatat punya istri, pernah menerima budak cantik dari Ratu Bone sebagai hadiah.

Budak itu dibaptis dengan nama Helena Pieters untuk tinggal di rumah bersama sebagai “teman hidup.”

Dari hubungan itu, mereka kemudian memiliki anak-anak.

Contoh lain adalah Gubernur Jenderal VOC Reinier de Klerk (1777-1780).

Saat tiba di Jawa, de Klerk hidup bersama budak perempuan.

Dari hubungan ini keduanya punya banyak anak yang kemudian dikirim ke Belanda.

Tak cuma Gubernur Jenderal, kalangan elit lain juga melakukan hal serupa.

Penasihat Gubernur Jenderal Thomas Stamford Raffles (1811-1816) dan anggota Dewan Hindia, yakni Herman Warner Muntinghe, tercatat tinggal bersama tiga budak perempuan meski telah beristri perempuan Indo-Belanda.

Raffles sendiri dikenal tak mempermasalahkan hubungan tak sah bawahannya dengan para budak.

Atas dasar ini, di masa kekuasaannya, praktik kumpul kebo lazim dilakukan.

Teman Raffles lain, yakni Alexander Hare, punya “teman hidup” perempuan dari berbagai wilayah.

Dalam bukunya Raffles and the British Invasion of Java (2012), Tim Hannigan mencatat Hare memanfaatkan posisi dan kekuasaannya untuk mengeksploitasi perempuan lokal sebagai “teman hidup”.

Sebenarnya, tindakan para elite hanyalah puncak gunung es.

Di level bawah, para pegawai, prajurit, hingga pedagang Eropa juga kerap menjalani kehidupan serupa, yakni tinggal bersama perempuan lokal tanpa ikatan nikah.

Masyarakat lantas menyebut praktik ini sebagai “kumpul Gerbouw”.

Dalam bahasa Belanda, Gerbouw berarti “bangunan” atau “rumah”.

Dengan demikian, sebutan itu dimaksudkan sebagai sindiran untuk mereka yang hidup berbagi atap.

Sumber artikel: cnbcindonesia.com

 

banner 325x300

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses