banner 728x90 banner 728x90
Opini  

OPINI: Dompet Kepala Daerah Kempes

Eddy Supriadi
banner 468x60

Oleh: Eddy Supriadi
Akademisi Universitas Pertiba Bangka Belitung

JURNALINDONESIA.CO – Tahun 2026 tampaknya bukan tahun yang ramah bagi kepala daerah.

Banyak wajah kepala daerah yang dulu tampak sumringah di layar media sosial kini berubah jadi gusar dan cemas di balik meja rapat anggaran.

“Dompet” daerah menipis. Postur belanja APBD 2026 seperti dompet tebal yang mendadak kempes janji politik menumpuk, belanja wajib pendidikan dan kesehatan menjerit, infrastruktur menuntut realisasi, sementara sumber pendapatan menyusut di sana-sini.

Kekuasaan dan Gaya Hidup Pemerintah Daerah

Dari APBD tidak hanya sekadar tabel angka ia adalah cermin gaya hidup pemerintahan.

Dalam beberapa tahun terakhir, banyak daerah terjebak dalam budaya belanja simbolik gemar proyek seremonial, baliho citra, hingga kegiatan yang beraroma pencitraan publik ketimbang substansi pembangunan.

Fenomena ini mencerminkan apa yang oleh sosiolog Pierre Bourdieu disebut sebagai symbolic capital modal sosial dan simbolik yang dipakai untuk memperkuat posisi kekuasaan, bukan kesejahteraan masyarakat.

Akibatnya, struktur sosial pemerintahan daerah menjadi seperti rumah megah dengan dapur kosong.

Warga menuntut pendidikan yang layak, layanan kesehatan yang cepat, dan jalan yang tidak rusak; namun ruang fiskal sudah tersita untuk “kebutuhan tampil” dan kegiatan administratif yang boros.

Ketika sumber pendapatan asli daerah stagnan dan dana transfer pusat berkurang, kepala daerah seolah kehilangan napas panjang untuk bernapas di tengah tekanan janji-janji politik yang belum tuntas.

Perspektif Ekonomi Pemerintahan: Antara Pendapatan dan Belanja yang Tak Seimbang

Secara ekonomi pemerintahan, struktur APBD 2026 menunjukkan gejala klasik fiscal stress tekanan keuangan akibat ketidakseimbangan antara pendapatan dan kewajiban belanja.

Dalam teori public finance, pemerintah daerah idealnya menjaga fiscal sustainability (ketahanan fiskal) dengan memperkuat PAD, mengefisienkan belanja, dan menghindari pemborosan struktural.

Namun, kenyataannya, banyak kepala daerah masih bergantung pada dana transfer pusat, sementara inovasi pendapatan lokal belum maksimal.

Program wajib seperti pendidikan dan kesehatan yang menurut UU Nomor 23 Tahun 2014 serta Permendagri Nomor 84 Tahun 2022 menjadi prioritas daerah sering kali hanya memenuhi angka minimal, bukan kualitas maksimal.

Di sisi lain, proyek-proyek fisik besar seperti jalan dan jembatan kerap dihadapkan pada keterbatasan anggaran dan beban administrasi hibah yang makin ketat.

Akhirnya, banyak kepala daerah berhadapan dengan dilema klasik mau membangun tapi tak punya amunisi, mau hemat tapi takut dituding tak bekerja.

Tanggung Jawab yang Mengikat, Kewenangan yang Terbatas

Secara yuridis, kepala daerah terikat oleh berbagai aturan perundang-undangan yang mengatur pengelolaan keuangan negara dan daerah. UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, UU Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah (HKPD), serta PP Nomor 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah menegaskan prinsip money follows function uang mengikuti fungsi pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah.

Namun dalam praktiknya, ruang diskresi kepala daerah semakin sempit.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses