JURNALINDONESIA.CO – Muhamad Zainul Arifin, penggugat keabsahan hasil Muktamar Ke-X Partai PPP, mengajukan banding administratif kepada Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto.
Hal itu terkait Surat Keputusan (SK) Pengesahan Kepengurusan DPP PPP Masa Bakti 2025–2030 yang diterbitkan oleh Kementerian Hukum.
Sebelumnya, keberatan administratif kepada Menteri Hukum Republik Indonesia ditolak pada tanggal 20 Oktober 2025.
Upaya itu dilakukan sebagai bentuk keberatan atas terbitnya SK yang menetapkan H Mardiono sebagai Ketua Umum DPP PPP.
Padahal, di sisi lain masih terdapat sengketa internal Partai PPP atas keabsahan Muktamar ke-X yang tengah diperiksa di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan Perkara Nomor 678/Pdt.Sus-Parpol/2025/PN.Jkt.Pst.
Dalam pernyataannya, Zainul menegaskan penerbitan Surat Keputusan (SK) tersebut dinilai prematur dan bertentangan dengan prinsip kepastian hukum, peraturan perundang-undangan, serta asas-asas umum pemerintahan yang baik (AUPB).
Menurutnya, penerbitan SK dimaksud tidak sejalan dengan AD/ART Partai PPP, dan ketentuan Undang-Undang tentang Partai Politik, Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 34 Tahun 2017 tentang Tata Cara Pendaftaran Pendirian Badan Hukum, Perubahan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga, serta Perubahan Kepengurusan Partai Politik, serta Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.
Dengan demikian, keputusan tersebut dinilai melanggar AUPB, khususnya Asas Kepastian Hukum, Asas Kecermatan, dan Asas Ketidakberpihakan.
Mengingat proses hukum di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat mengenai keabsahan hasil Muktamar Ke-X partai PPP masih berjalan dan belum berkekuatan hukum tetap (inkrah).
“Kami menghormati kewenangan Kementerian Hukum RI, namun dalam hal ini terdapat proses hukum yang sedang berlangsung.
Seharusnya pemerintah menunggu perselisihan internal partai PPP selesai dulu, hingga putusan pengadilan inkrah terlebih dahulu sebelum menetapkan perubahan kepengurusan partai PPP,” ujar Zainul di Jakarta, Senin (27/10/2025).
Zainul menilai langkah pemerintah dalam mengesahkan perubahan kepengurusan baru berpotensi menimbulkan preseden buruk bagi tata kelola partai politik di Indonesia.
Ia menegaskan, pemerintah seharusnya bersikap netral dan menjunjung tinggi asas due process of law, bukan justru mempercepat pemberian legitimasi kepada salah satu pihak yang masih berstatus sengketa.
Lebih lanjut, Zainul menjelaskan bahwa pengajuan banding administratif tersebut didasarkan pada ketentuan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, yang memberikan hak kepada warga negara untuk mengajukan keberatan dan banding administratif terhadap keputusan pejabat pemerintahan yang dianggap bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.















