banner 728x90 banner 728x90
Opini  

Pendidikan Tinggi Swasta: Antara Idealitas dan Realitas yang Pahit

OPINI

banner 468x60

Oleh Adi Suputra
Ketua Yayasan Pertiba
Bangka Belitung

JURNALINDONESIA.CO – Di negeri yang sering disebut “Konoha” sebuah metafora bagi negara yang katanya kuat dan beradab segala hal yang berbau swasta selalu dihadapi dengan regulasi yang kaku, berliku, dan condong tidak memihak.

Setiap kali membicarakan kebijakan publik, kita seolah mengurai benang kusut yang tak pernah selesai.

Regulasi hadir bukan untuk memecahkan masalah, tapi seakan menjadi bagian dari masalah itu sendiri.

Kebijakan publik yang idealnya berpijak pada UUD 1945 alinea ke-4 cita-cita untuk melindungi segenap bangsa Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia kini sering kali tereduksi menjadi instrumen kepentingan politik dan ekonomi kelompok tertentu.

Arah kebijakan pendidikan, ekonomi, dan sosial tampak lebih banyak mengikuti arah angin kekuasaan daripada arah nurani konstitusi.

1. Ketika Negara Gagal Menjadi Wasit

Secara teori kebijakan publik, negara idealnya berperan sebagai “wasit” yang menjamin keadilan dan keseimbangan antara sektor publik dan swasta.

Namun dalam praktiknya, negara justru sering menjadi “pemain” yang memihak salah satu tim di lapangan.

Hal ini menimbulkan market distortion dalam berbagai bidang, mulai dari pendidikan hingga ekonomi lokal.

Regulasi yang terlalu sentralistik membuat sektor swasta termasuk perguruan tinggi swasta, koperasi, dan usaha masyarakat harus berjuang di tengah birokrasi yang tidak efisien.

Padahal teori pembangunan modern (Todaro, Sen) menekankan: kemajuan negara bergantung pada synergy between state and civil society, bukan dominasi satu pihak.

2. Akademisi sebagai Penjaga Rasionalitas Bangsa

Dalam situasi seperti ini, akademisi dan dunia pendidikan menjadi tumpuan terakhir rasionalitas bangsa.

Seorang dosen bukan hanya pengajar, tapi penjaga kesadaran kritis masyarakat.

Namun, mereka sering dibiarkan berjuang sendiri, di bawah tekanan ekonomi, politik, dan birokrasi pendidikan yang tak berpihak.

Di ruang kelas, para dosen dan mahasiswa menjadi aktor perubahan tempat terakhir di mana bangsa ini masih belajar berpikir jernih.

Mereka tidak boleh menyerah pada pragmatisme politik yang mengajarkan bahwa suara rakyat bisa dibeli, dan kebijakan bisa diatur sesuai kepentingan.

Dalam filsafat pendidikan Ki Hajar Dewantara, pendidikan adalah tuntunan dalam hidup tumbuhnya budi pekerti, bukan sekadar alat pencetak tenaga kerja.
Itulah nilai yang kini terancam hilang.

3. Politik Uang dan Apatisme Struktural

Masyarakat di akar rumput kini dibentuk untuk tidak peduli.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses