banner 728x90 banner 728x90

Menguak Kisah Ketua PKI DN Aidit, Saat Wawancara dengan Majalah Intisari Tahun 1964

Majalah Intisari mewancarai Ketua PKI DN Aidit pada 1964.
banner 468x60

JURNALINDONESIA.CO – Dipa Nusantara Aidit adalah pentolan Partai Komunis Indonesia (PKI).

Dia dituduh sebagai dalang peristiwa kelam G30S/PKI.

***

Dulu, sekitar 1964, Intisari kerap berkunjung ke kantor-kantor partai politik yang ada di Indonesia.

Salah satunya adalah kantor Comitte Central (CC) Partai Komunis Indonesia (PKI) yang berada di Jl Kramat, Jakarta Pusat.

Saat itu, Intisari berhasil bertemu dengan DN Aidit, orang nomor satu di tubuh PKI.

Selain itu, DN Aidit juga adalah Wakil MPRS dalam Kabinet Kerja IV dan Kabinet Dwikora I pada 1964-1965.

Bagaimana hasil pertemuan Intisari dengan DN Aidit?

Kami tuliskan utuh laporan Majalah Intisari edisi Maret 1964 dengan judul “Dipa Nusantara Aidit”.

Kunjungan ke kantor CC PKI yang sedang dibangun di Jalan Raya Kramat mengingatkan saya akan kunjungan ke pemuka-pemuka partai yang sudah saya datangi hingga kini: Kasimo, Ali Sastraamidjaja SH, K.H. Idham Chalid.

Tiga itu saja saya jumpai di rumah kediaman mereka.

Kasimo tak mempunyai sekretaris (Dia bukan ketua umum, ketua umum Partai Katolik Drs Frans Seda).

Ali setidak-tidaknya waktu saya diterima tak juga ada sekretarisnya. Idam Chalid di rumah kediamannya mempunyai staf.

Tamu yang hendak bertemu mendaftarkan dulu.

Salah seorang sekretaris (atau pengawal) hadir waktu kami berwawancara.

Setiap kali dia menyalakan rokok mata saya melirik selalu karena koreknya, korek model pistol-pistolan.

Bagaimana markas besar bung Aidit? Kerapian dan militansi organisasinya terasa benar, tatkala kami berdua hendak diterima oleh bung Aidit.

Isi buku tamu, diantarkan ke kamar tunggu. Tak lama kemudian bung Aidit keluar mempersilakan kami masuk ruang kerjanya.

Dindingnya bercat ros, serba rapi, yang kami lihat potret bung Aidit dengan bung Karno serta bung Aidit dengan kawan Mao Tse Tung.

Tak banyak kami ajukan pertanyaan, karena berdasarkan daftar pertanyaan yang kami kirimkan lebih dulu, sudah disusunnya garis besar riwayat hidupnya yang dibacanya sambil memberikan beberapa keterangan.

***

Tatkala bung Aidit duduk di sekolah dasar HIS Belitung, pak guru St. Indra bertanya kepadanya dalam mata pelajaran ilmu bumi.

Di Digul ada apa? Jawabnya, “Ada banyak orang pandai.” Pak guru agak terkejut dan murid itu diberinya angka baik.

Jawaban itu didapatkan Dipa Nusantara Aidit dari ayahnya.

Ayahnya suka membaca surat kabar misalnya Pemandangan.

Kepada anak-anaknya, sering dia berceritera tentang pemimpin-pemimpin masa itu seperti Soekarno, Hatta, pemuka-pemuka lain yang banyak dibuang ke Digul.

Mereka itu orang pandai-pandai. Ini berkesan pada Aidit kecil.

Nama ayahnya Abdullah Aidit, seorang buruh perkebunan tamatan sekolah HIS.

Dipa Nusantara Aidit kelahiran Medan tanggal 30 Juni 1923.

Kemudian keluarganya pindah ke Belitung dan di sanalah ia menamatkan sekolah dasar.

Saudaranya 4 dengan dia, semuanya lelaki: Basri, Sobron, Murad, dan D.N. Aidit.

Semuanya pengikut Marx dan Lenin hanya ada yang aktif ada yang tidak.

Ibunya meninggal tatkala bung Aidit berumur 6 tahun.

Di Belitung ada tambang. Sering bung Aidit bersama teman-temannya masuk ke tambang sampai 200 m di bawah tanah.

Kontras antara kehidupan buruh dan majikan berkesan padanya. Begitu pula nasib yang dialami ayahnya.

Sekalipun pendidikannya lebih tinggi, ia tetap buruh, sedangkan kepalanya, orang Belanda yang lulus sekolah dasar saja tidak, lagi tolol dalam pekerjaan.

Abdullah Aidit oleh anaknya dilukiskan sebagai seorang Muslim liberal.

Liberal dalam arti membiarkan anak-anaknya memilih ideologi, lapangan hidup dan kawan hidup menurut kehendak mereka sendiri-sendiri.

Sekitar tahun 1937 bung Aidit tiba di Jakarta, masuk sekolah dagang sambil mengikuti kursus bahasa-bahasa asing.

Karena biaya macet, tidak sampai tamat. Malahan pernah ia bekerja sebagai pembuat lubang kancing pada tukang jahit.

Katanya, ia pun suka sekali ke museum membaca buku-buku.

Ganyangannya buku-buku sosiologi dari penulis-penulis bukan Marxis.

Adler, Vierkandt, Max Weber, Le Bon, Rolandhols, Kautzky, adalah beberapa nama yang ia sebutkan.

Pandangan mereka tak memuaskan hatinya. Berlainan halnya tatkala dia membaca buku Manifesto Komunis dan buku-buku Marx dan Lenin lainnya.

Penderitaan lenyap apabila kelas-kelas itu lenyap. Tetapi untuk meniadakan kelas-kelas itu, justru dibutuhkan kesadaran kelas untuk dipertentangkan menjadi “perang kelas”.

Baru pertama kali itu kami berhadapan muka dengan bung Aidit.

Yang istimewa ketajaman matanya dan roman muka yang menunjukkan intelegensia tinggi.

Ini mungkin cermin dari dinamis jiwanya. Dinamik pemuda itu di Jakarta disalurkan pada kehidupan organisasi.

Dia memasuki Persatuan Timur Muda. Anggotanya dari aneka macam golongan termasuk keturunan Arab dan Tionghoa.

Katanya, “Sejak dulu saya menentang rasialisme.”

Dia berkenalan dengan Wikana pemimpin Gerindo. Kenal pula dengan Amir Sjarifudin SH.

“Besar pengaruhnya terhadap saya. Dia seorang intelektual yang militan, yang mengintegrasikan diri dengan massa rakyat. Pejuang gigih melawan fasisme. Berwibawa dan berwatak.”

Resmi menjadi anggota partai komunis pada zaman Jepang. Perantaranya, Widarta.

Terjadi pada Juli 1943, umurnya waktu itu 20 tahun. Mengapa? Karena PKI menentang fasisme Jepang secara konsekuen.

Dia pun turut memimpin Gerakan Indonesia Merdeka, suatu gerakan di bawah tanah bersama Chairul Saleh, Sidik Kertapati, Lukman.

Gedung Menteng 31 memainkan sejarah penting. Di situ tempat institut pendidikan politik Angkatan Baru Indonesia dalam zaman Jepang.

Direkturnya Wikana. Guru-gurunya tokoh-tokoh pergerakan Bung Karno, Hatta, Syahrir, Moh. Yamin, Soebarjo, Iwa Kusumasumantri.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses