banner 728x90 banner 728x90

The Right Man with The Right Boss: Rasionalitas Merit atau Emosionalitas Politik?

Opini

Akademisi Uniper Pangkalpinang, Eddy Supriadi.
banner 468x60

Oleh: Eddy Supriadi
Akademisi UNIPER Pertiba

JURNALINDONESIA.CO – Reformasi birokrasi di daerah kini menghadapi paradoks baru: ketika merit system seharusnya menjadi roh profesionalisme aparatur, praktik di lapangan justru meluncur ke arah emotional system.

Prinsip “the right man in the right place” kini bergeser menjadi “the right man with the right boss.”

Mereka yang dekat dengan kekuasaan sering lebih cepat naik jabatan daripada mereka yang kompeten.

Loyalitas personal menjadi lebih berharga daripada kinerja institusional.

Inilah wajah baru birokrasi daerah pasca-revisi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023 tentang Aparatur Sipil Negara, yang menggantikan UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara bukan sekadar mengubah redaksi, tetapi juga peta kekuasaan dalam sistem kepegawaian.

Merit yang Disederhanakan, Loyalitas yang Diperluas

Salah satu perubahan paling signifikan adalah dihapusnya peran Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) sebagai pengawas independen sistem merit.

Kini, fungsi pengawasan berpindah ke Badan Kepegawaian Negara (BKN), Kementerian PAN-RB, dan Kementerian Dalam Negeri.

Secara yuridis, pergeseran ini dimaksudkan untuk memperkuat koordinasi dan efektivitas kebijakan ASN.

Namun secara faktual, hilangnya lembaga pengawas independen justru membuka ruang bagi intervensi politik yang lebih subtil namun masif.

Tanpa KASN, proses mutasi, promosi, dan seleksi pejabat potensial akan semakin ditentukan oleh “rasa percaya” kepala daerah ketimbang kriteria objektif. Sistem merit berubah menjadi sistem “like and trust”.

Politik Personal di Balik Jabatan Publik

Banyak kepala daerah berlatar belakang politisi atau pengusaha, bukan administrator publik.

Latar ini sering membentuk pola pikir manajerial yang lebih berorientasi branding ketimbang building.

Akibatnya, banyak kebijakan tampil glamor namun minim makna penuh jargon perubahan, namun miskin eksekusi.

Mereka lebih sibuk membangun citra diri di media sosial daripada membangun sistem yang efisien dan akuntabel.

Pemerintah daerah seolah menjadi event organizer ketimbang organisasi pelayanan publik.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses