banner 728x90 banner 728x90

Institusi Polri Jauh dari Cita-cita Reformasi, GMNI Desak Copot Jenderal Listyo Sigit

banner 468x60

JURNALINDONESIA.CO – Kegagalan reformasi kepolisian di bawah komando Kapolri Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo menjadi materi diskusi pra-Konferensi Cabang (Konfercab) Dewan Pimpinan Cabang Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (DPC GMNI) Jakarta Selatan, Rabu (2/10/2025).

Diskusi bertajuk “Reformasi Kepolisian: Menegakkan Kembali Supremasi Sipil atau Mempertahankan Kekuasaan”, menyebut institusi Polri semakin jauh dari cita-cita reformasi.

Bahkan cenderung menjadi alat status quo yang berpihak pada modal dan kekuasaan.

Pemateri diskusi yakni Antonius Danar dari Strategi Institute, pengamat politik Ray Rangkuti, Guru Besar Ilmu Pemerintahan Universitas Padjadjaran Prof. Muradi, serta Romo Setyo dari Gerakan Nurani Bangsa.

Acara dipandu oleh Lotfy Konyora, kader GMNI Jaksel.

Romo Setyo menilai reformasi kepolisian tidak bisa hanya dilakukan di level teknis.

Menurutnya, korupsi, kolusi, dan nepotisme sudah menjadi habitus dalam tubuh Polri yang hanya bisa berubah melalui “paksaan sejarah” dan perubahan paradigma besar.

“Yang esensial dari reformasi kepolisian harus dilihat dari aspek kultural dan struktural. Habitus KKN sudah mengakar.

Perubahan tidak bisa sekadar administratif, melainkan harus melalui tekanan sejarah dan revolusi pemikiran,” ujarnya dalam rilis kepada wartawan.

Narsum lain, Prof Muradi menilai kepemimpinan Kapolri Listyo Sigit sudah berulang kali diuji melalui empat gelombang krisis besar: kasus Sambo, tragedi Kanjuruhan, kasus narkoba Teddy Minahasa, serta kematian seorang pengemudi ojek online.

“Empat gelombang krisis itu seharusnya menjadi pelajaran bahwa masalah kepolisian bukan sekadar oknum, melainkan struktural. Persoalan pengawasan masih lemah, Kompolnas tidak memiliki kekuatan yang memadai,” tegas Muradi.

Ia mengusulkan pembatasan jabatan Kapolri maksimal tiga tahun, memperkuat Kompolnas dengan kewenangan nyata, serta membatasi peran polisi aktif di jabatan sipil.

Sementara, Ray Rangkuti menyoroti lemahnya desain institusional kepolisian dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.

Ia menilai mekanisme fit and proper test di DPR justru menghasilkan pimpinan Polri yang memiliki banyak utang budi politik.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses